Arsul Sani Usulkan Tindak Pidana Rekayasa Kasus Masuk RUU KUHP
RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengusulkan adanya rumusan atau formulasi pasal terkait dengan tindak pidana rekayasa kasus masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Rumusan tersebut dinilai penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum bukan hanya adil namun lebih dari itu, yakni penegakan hukum yang benar dan tidak dibuat-buat.
Usulan itu disampaikan Arsul saat Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Kementerian Hukum dan HAM RI diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Edward Omar Sharif Hiariej dalam pembahasan penyempurnaan RKUHP hasil sosialisasi Pemerintah yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Disebutkan, terdapat kemungkinan, lintas fraksi akan mengajukan satu dua pasal tindak pidana baru. Karena, ini banyak diaspirasikan berbagai elemen masyarakat kepada DPR terkait tindak pidana rekayasa kasus yang diharapkan bisa menjadi bagian dari bab atau sub-bab di bawah opsi obstruction of justice.
"Ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum kita merupakan penegakan hukum yang bukan hanya adil tapi juga benar dan tidak dibuat-buat,” ujar Wakil Ketua MPR RI ini.
Terkait hal itu, sambung Politisi Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini maka diharapkan kedepannya para oknum yang diduga melakukan tindak pidana rekayasa kasus baik penegak hukum ataupun bukan penegak hukum kedepannya juga harus diancam pidana.
“Jadi itu catatan, Pak Wamen. Barangkali, syukur-syukur nanti dengan adanya para ahli juga terbantu juga kira-kira rumusan atau formulasi pasalnya yang terkait dengan pasal tindak pidana rekayasa kasus,” tandas Arsul.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil memberikan persetujuan untuk membahas soal rekayasa kasus. Mengingat sebagaimana catatan LSM bahwa sejak tahun 2019-2022 terdapat adanya 27 kasus-kasus yang direkayasa oleh aparat penegak hukum.
Terkait hal itu, Nasir menegaskan 27 kasus yang terjadi sepanjang 2019-2022 tersebut jangan dianggap remeh.
“Walaupun terjadi 2019-2022 dengan 27 kasus, jangan kita lihat angka 27-nya tapi kita lihat rekayasa kasusnya. Karena negara hadir melindungi warga negara. Jadi jangan dilihat jumlahnya, tapi lihatlah bagaimana fungsi negara dan aparat negara dalam hal ini aparat penegak hukum. Karena itu, rekayasa kasus ini perlu dipikirkan untuk kita bicarakan dalam perubahan RKUHP ini untuk melindungi warga negara,” pungkas Nasir. (*)